PENELITI BERHASIL MENCIPTAKAN
“KEHIDUPAN BUATAN” PERTAMA DI DUNIA
Ditulis oleh Admin pada tanggal:21/05/2010 di Dapunta Online, Headline, Sains | 0 Comment | Dapunta Online –
TIM PENELITI Amerika Serikat (AS) baru-baru ini menyatakan telah berhasil menciptakan “kehidupan buatan” pertama di dunia. Penemuan ini adalah serangkaian sel bakteri hidup yang dihasilkan DNA buatan berdasarkan pemrograman komputer.
Craig Venter, pemimpin tim riset di J Craig Venter Institute di Kota Rockville, negara bagian Maryland, AS mengatakan, “Ini merupakan sel pertama di planet ini yang orangtuanya adalah komputer,” kata Venter seperti yang dimuat di laman harian USA Today, Kamis sore 20 Mei 2010 waktu setempat.
“Sel ini bermula dari kode digital di komputer,” lanjut Venter, yang dikenal sebagai salah satu peneliti pelopor atas studi pemetaan genome manusia dan biologi sintetis.
Penemuan ini merupakan, “Momen yang menentukan dalam sejarah biologi dan bioteknologi.” Begitu kata Mark Bedau, cendekia dari Reed College dan editor Jurnal “Artificial Life,” seperti yang dikutip majalah Science.
Sel bakteri hidup berwarna biru itu disimpan dalam suatu alat pendingin dan akan dipamerkan di suatu museum. Sel itu diyakini tidak menular. Venter Institute yakin bahwa penciptaan ini berdampak besar bagi penelitian-penelitian lain.
“Melalui studi ini, tim telah berdiskusi dan terlibat dalam tinjauan etis secara eksternal dan menyadari implikasi sosial atas penelitian ini,” demikian menurut Venter Institute.
Venter kini berencana membuat piranti lunak (software) khusus untuk perkembangan sel itu. Tim peneliti awalnya menyalin genome bakteri yang sudah ada dan selanjutnya merangkai kode genetik genome itu dan menggunakan “mesin sintesis” untuk membuat salinan baru secara kimiawi.
“Kami kini mampu mengambil kromosom sintetik dan mencangkokkannya ke sel penerima, yang merupakan organisme yang berbeda,” kata Venter kepada stasiun televisi BBC. Maka, dia melanjutkan bahwa begitu piranti lunak yang mereka ciptakan berfungsi, sela yang bersangkutan akan bereaksi dan berubah menjadi spesies-spesies yang dipetakan dalam kode genetik.
“Ini merupakan kali pertama DNA sintetik sepenuhnya mengendalikan sebuah sel,” kata Venter. [*] USA TODAY/SCIENCE/VIVA NEWS/BBC/DPT.
Sumber:
KISSING DISEASE
Oleh faiqhr pada Juli 26, 2010, 08:25:00
Kissing Disease, nama resmi penyakit ini adalah Infectious Mononucleiosis. Penyakit ini disebabkan oleh Virus Cytomelago. Virus ini terdapat di kelenjar air liur, air seni, lendir leher rahim, sperma, air susu ibu, dan darah.
Selain lewat berciuman, penularan penyakit ini juga dapat melalui transplantasi organ, donor darah, persalinan, serta oral seks. Diketahui bahwa virus ini sekerabat dengan Virus Herpes yang bersifat laten dalam tubuh manusia.
Hampir sebagian besar orang dewasa pernah disinggahi virus ini, umumnya ketika masih usia remaja. Di Amerika, virus ini banyak menyerang remaja putra usia 16-18 tahun, dan remaja putri usia 14-16 tahun atau rata-rata pada usia antara 15-25 tahun. Dikirakan karena pada usia sekian para remaja mulai melakukan aktifitas ciuman.
Gejala yang terjadi biasanya seperti gejala flu, yaitu demam, rasa tidak enak di tenggorokan, sering mengantuk, dan sebagainya. Tetapi gejala ini berlangsung dalam jangka yang lebih panjang, yaitu sekitar dua minggu. Dan tanpa disadari, hati dan limpa si pengidap akan membengkak.
Untuk mengetahui apakah seseorang mengidap penyakit ini atau tidak, perlu dilakukan pemeriksaan darah yang disebut TORCH. TORCH adalah kependekan dari Toxoplasma, Rubella, Cytomelago, dan Herpes.
Penyakit Kissing Disease ini menyerang selaput otak (meningen). Jaringan otak menjadi layu, kemudian secara perlahan-lahan sel-selnya mengalami kematian. Hal yang umum terjadi adalah berkurangnya pendengaran, gangguan penglihatan, kelumpuhan, dsb.
Jika terdapat bagian sel otak yang mati, kemudian menyerang bagian motorik otak, maka yang seperti ini dapat mengakibatkan kelumpuhan. Dalam kasus kelumpuhan, mungkin tidak terjadi serta merta begitu saja. Biasanya, fase ini terjadi perlahan-lahan.
Selain Virus Cytomegalo, ada jenis virus lain yang berpotensi ditularkan lewat berciuman, antara lain Virus Epstein-Barr, Virus Herpes-6, Virus Hepatitis, Parasit Toxoplasma, dan Virus HIV penular AIDS sendiri.
Virus Cytomegalo, Herpes-6, dan Toxoplasma, selain mengancam si empunya virus, juga dapat mengancam anak dalam kandungan. Ini hanya jika si ibu mengidap virus tersebut ketika hamil. Anak dalam kandungan tersebut terancam kelainan jantung, cacat, tuli, hydrocephalus, bahkan meninggal dunia atau keguguran. Maka dari itu, setiap ibu yang sedang mengandung janin sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan darah TORCH.
Walaupun virus ini sangat berbahaya dan dapat mematikan janin, tetapi virus ini pada umumnya tidak sampai mematikan orang dewasa. Tetapi belakangan ini ditakutkan virus ini dapat memicu kerusakan pada pembuluh darah koroner. Juga beberapa jenis virus yang dapat mengakibatkan penyakit jantung koroner. Selain itu, ditemukan juga bahwa virus ini berpotensi menimbulkan penyakit kanker kelenjar getah bening (Hodgkin).
Tidak ada antivirus yang dapat diandalkan untuk menyembuhkan penyakit virus ini. Satu-satunya jalan yang harus dilakukan untuk menyembuhkan penyakit ini adalah beristirahat total dan memulihkan sistem imun kita untuk melawan virus ini sendiri. Serta pada masa penyembuhan, pasien dilarang untuk berciuman dengan anak, istri, apalagi orang asing.
Sumber: http://www.forumsains.com/artikel/kissing-disease/
MENGENAL AMYLOMYCES ROUXII
Oleh Milmi pada Agustus 02, 2010, 07:22:00
Indonesia dan negara-negara Asia terkenal dengan makanan yang diproduksi melalui fermentasi substrat padat yang mengandung pati dalam jumlah banyak. Contohnya adalah tape singkong dan tape ketan dari Indonesia, chiu-niang dari Cina, arak dari tape ketan dari Vietnam, dan lain-lain. Proses fermentasi tersebut menggunakan dua kelompok mikroorganisme yang memiliki peran berbeda-beda, kelompok pertama akan memecah pati menjadi glukosa, sedangkan kelompok kedua akan mengubah glukosa menjadi etanol. Mikroorganisme yang sering ditemui dan merupakan anggota kelompok pertama adalah Amylomyces rouxii (Nout 2007).
A. rouxii adalah anggota tunggal dari genus Amylomyces. Genus serta spesies tersebut pertama kali dideskripsikan oleh Clamette pada tahun 1892. Kapang tersebut tumbuh dengan cepat dan banyak menghasilkan klamidospora; sporangia tidak atau tidak sempurna terbentuk, mirip dengan Rhizopus, dengan apofisis yang kecil; sporangiofor tegak dengan atau tanpa rizoid. Sinonim A. rouxii adalah Chlamydomucor oryzae, C. rouxii, C. rouxianus, C. javanicus, dan Rhizopus chlamydosporus (Ellis et al. 1976).
(Ellis et al. 1976)
Karakteristik A. rouxii yang menguntungkan dalam proses fermentasi substrat padat yang mengandung pati adalah kemampuan kapang tersebut dalam menghasilkan enzim amyloglucosidase, kemampuannya tumbuh pada substrat mentah (belum dimasak), serta ketidakmampuannya bersporulasi (Nout 2007). Amyloglucosidase (EC 3.2.1.3), atau juga sering disebut amylase, adalah enzim yang berfungsi memutus ikatan alpha-1,4 glikosida pada rantai polisakarida. Hasil akhir dari hidrolisis tersebut adalah dextrins, oligosakarida, maltosa and D-glukosa. Proses tersebut dikenal dengan sakarifikasi. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Dung et al. (2006) menunjukkan bahwa A. rouxii mampu merubah 25% pati menjadi glukosa setelah inkubasi selama tiga hari, serta menghasilkan amyloglucosidase hingga 0,43 U/g.
Walaupun banyak penelitian tentang A. rouxii telah dilakukan, namun kapang tersebut masih menjadi misteri, antara lain adalah habitat alami A. rouxii serta evolusinya. Penggunaan ragi tape yang luas di masyarakat Indonesia membuka peluang banyaknya variasi A. rouxii yang dapat dijadikan sampel dalam memecahkan misteri tersebut.
Daftar Pustaka
1. Dung, N.T.P., F.M. Rombouts & M.J.R. Nout. 2006. Functionality of selected strains of moulds and yeasts from Vietnamese rice wine starters. Food Microbiology 23: 331 –- 340.
2. Ellis, J.J., L.J. Rhodes & C.W. Hasseltine. 1976. The Genus Amylomyces. Mycologia, 68(1): 131 — 143.
Nout, R.M.J. 2007. The colonizing fungus as a food provider. Dalam. Dijksterhuis, J. & R.A. Samson. 2007. Food mycology: A multifaceted approach to fungi and food. CRC Press, Newark: 335 — 352.
THE C-VALUE PARADOX: BESARNYA GENOM TIDAK MENCERMINKAN KOMPLEKTISITAS GENETIKA ORGANISME
Oleh Hendy wijaya, MD pada Juli 28, 2010, 10:22:00
Ketika anda memeriksa genom dari berbagai macam spesies, anda pasti mengira bahwa organisme yang sederhana memiliki genom yang yang lebih kecil daripada organisme yang lebih kompleks. Sebab, anda mengasumsikan bahwa organisme yang lebih sederhana memerlukan sedikit gen daripada organisme yang lebih kompleks. Asumsi ini memang benar, tapi perkiraan bahwa organisme yang lebih sederhana memiliki genom yang lebih kecil tidaklah sesuai faktanya.
Ambillah contoh perbandingan antara manusia dan amoeba. Manusia sudah tentu memiliki lebih banyak gen daripada amoeba, sebab manusia adalah organisme multiselular yang jauh lebih kompleks daripada amoeba. Hal ini benar adanya, tapi apakah manusia juga memiliki genom yang lebih besar daripada amoeba? Tidak. Faktanya, manusia memiliki 3,3 milyar pasang basa dalam genomnya, sedangkan amoeba memiliki 200 milyar genom dalam genomnya, yaitu hampir 70 kali lebih banyak daripada manusia! Lantas mengapa genom organisme yang jauh lebih sederhana memiliki genom yang demikian besarnya?
Demikian juga contoh lain, yaitu bony fish dan japanese puffer fish, kedua jenis ikan ini merupakan spesies yang masih memiliki kekerabatan dekat. Japanese puffer fish memiliki 0,5
milyar pasang basa dalam genomnya sedangkan bony fish memiliki 300 milyar pasang basa dalam genomnya, 600 kali lebih banyak daripada japanese puffer fish! Kenapa hal ini bisa terjadi? Apa gunanya kelebihan DNA dalam genom organisme-organisme tersebut?
Fenomena ini disebut sebagai C-Value Paradox, dengan C mengacu pada kuantitas DNA dalam genom organisme. Kelebihan DNA tersebut tidak mencerminkan komplektisitas komponen genetiknya, tapi hanya berupa DNA yang tidak memiliki fungsi ataupun mengkode suatu produk fungsional dalam organisme bersangkutan. Sebagian besar dari DNA tersebut merupakan suatu segmen repetitif yang terdiri dari transposons dan retrotransposons. Transposons atau disebut juga transposable elements merupakan segmen DNA yang bisa menginsersikan dirinya di mana pun dalam genom baik dengan cara mengkopi dirinya sendiri melalui replicative transposition atau mengkatalisis pemindahan segmen dirinya sendiri melalui mekanisme conservative transposition. Kedua mekanisme ini dilakukan oleh transposon menggunakan enzim transposase yang dikodenya dan tanpa melalui fase RNA. Sedangkan retrotransposon atau retrotransposable elements melakukan perpindahan atau insersi melalui fase RNA. Jadi transkrip dirinya selain mengkode reverse trankriptase, ia juga berfungsi sebagai template untuk membentuk cDNA untuk kemudian diinsersikan di tempat-tempat tertentu dalam genom.
Dalam tubuh manusia, terdapat dua jenis retrotransposon, yaitu SINEs (Short Interspersed Nuclear Elements) dan LINEs (Long Interspersed Nuclear Elements). LINEs memiliki panjang antara 1-6 Kbp sedangkan SINEs memiliki panjang 100 bp-1 kbp. LINEs, SINEs serta transposon lainnya menyusun 45% total genom kita! Dua puluh persen total genom merupakan LINEs dan 13% total genom adalah SINEs. Salah satu jenis LINEs yang disebut dngan segmen L1 terdapat dalam intron 79% gen manusia. Segmen-segmen DNA ini sering disebut juga sebagai junk DNA. Sebab ia tidak memiliki fungsi apa-apa selain “berkehendak” untuk mengkopi dirinya sebanyak mungkin agar tetap sintas.
Jadi, perbedaan besar genom tiap organisme tidak mencerminkan perbedaan komplektisitas genetiknya, namun lebih kepada perbedaan kemampuan tiap organisme untuk membuang atau menekan tranposisi dari berbagaimacam junk DNA di atas dan segmen DNA repetitif lainnya. Atau mungkin saja bahwa segmen DNA repetitif ini sebenarnya memiliki fungsi tertentu dalam genom yang belum bisa kita deteksi saat ini.
Referensi
Hyde, D. 2009. DNA Structure and Chromosome Organization. In: Hyde, D. (Ed), Introduction to Genetics Principles, 1st Edition, (p. 166-181). New York: McGraw-Hill.
Pollard, T.D.; Earnshaw, W.C. & Lippincot-Schwartz, J. 2008. Chromosome Organization. In: Pollard, T.D. ; Earnshaw, W.C. & Lippincot-Schwartz, J. (Eds), Cell Biology, 2nd Edition, (p. 193-208). Philadelphia: Saunders-Elsevier.
Young, I.D. 2005. Gene Structure and Function. In: I.D. Young (Ed), Medical Genetics, 1st Edition, (p. 1-23). New York: Oxford University Press, Inc.
Sumber: http://www.forumsains.com/artikel/c-value-paradox-besarnya-genom-tidak-mencerminkan-komplektisitas-genetika-organisme/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar